“Whoaaa… saya dibuliii!” pekik muridku, N, ketika daku dan beberapa temannya bercanda tentangnya.
Jadi ceritanya, N itu masuk jadi salah-satu model fashion show untuk acara sekolah. Refleks, daku langsung mencandainya. Memanggilnya dengan ‘model’ atau menyindir penampilannya nanti.
Karena teman-temannya yang lain ‘menyambut’, candaan itu malah terus memanjang. Tak peduli sedang menerangkan atau apa. Apalagi daku lihat dia tidak menangis atau mengancam bakal pulang. Kadang ikut tertawa, dan sering juga menggerutu. Tapi masih senyum.
Bukan apa-apa. Daku cuma ingin mendekatkan diri dengan mereka. Terus, ingin menyegarkan kelas juga.
Tapi begitu ucapan ‘bullying’ keluar, walau dengan roman dan nada bercanda, hatiku seperti dicubit. Perasaan bersalah mulai menjalar. Apa iya daku sudah membiarkan, bahkan melakukan aksi bullying itu? Sama muridku sendiri?! Oh…
Persamaan antara bercanda dan bullying
Keduanya sama-sama ‘menumbalkan’ seseorang, sehingga orang itu jadi bahan tertawaan yang lain. Kita mencandainya dengan kata-kata atau tindakan mengolok seperti menyiku, menepuk, mencolek, dst. Orang itu jadi terlihat konyol, gitu.
Perbedaan antara bercanda dan bullying
Kalau bercanda itu lebih ke… bermain saja dan aura lucunya itu mutual. Dengan kata lain, orang bercanda dan yang jadi korban sama-sama tertawa dan terhibur. Konteks bercanda itu jarang sekali melibatkan hal-hal yang sensitif macam agama, suku/ras, penampilan fisik, dst. Intinya… ciri dari bercanda itu yaitu tidak mendatangkan bahaya.
Kalau bullying tentunya dilakukan dengan tujuan tertentu; untuk menjatuhkan harkat/ derajat korban, untuk menyakiti fisik atau perasaannya, untuk menghibur diri sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain, menunjukkan kekuasaan kita, dst. Intinya… bullying itu berpotensi mendatangkan bahaya.
Masalah yang Bisa Datang Diantara Bercanda dan Bullying
Jika korban candaan ‘baik-baik’ saja, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan yang namanya bercanda. Namun ketika si korban sudah mulai tidak nyaman dan tidak suka, itu artinya sesuatu yang tidak beres mulai terjadi. Bisa saja dia mulai merasa terintimidasi dan merasa tindakan kita berbahaya, baik secara fisik maupun mental.
Dengan demikian, otomatis orang yang bercanda pun sudah mulai bermasalah. Dia, langsung atau tidak, sudah keluar dari ‘jalur’. Problem itu akan semakin ‘kronis’ manakala dia tidak menyadarinya, bahkan menikmatinya.
Solusi
Untuk objek candaan, baiknya ia utarakan saja apa yang sebenarnya dirasakan. Biarkan teman atau orang-orang yang memperolok itu tahu, kalau candaan itu punya keterbatasan. Terus orang yang bercanda mesti segera menghentikan olok-oloknya. Bisa jadi si korban sudah menganggap kata-kata atau tindakan kita sebagai sesuatu yang keterlaluan dan melanggar batas yang semestinya.
Jika kita malah menikmatinya, maka tanya diri sendiri; kita ini masih dalam level bercanda atau sudah bertujuan lain? menjatuhkan wibawanya, misal? kalau sudah begitu, maka aksi bercanda kita begitu dekat dengan aksi bullying.
Intinya, komunikasi yang jelas dan terbuka jadi salah-satu cara penting dalam mengurai masalah apapun. Termasuk sesuatu yang sederhana macam candaan, apabila berubah tingkat jadi berkategori bullying. Iya, ‘kan? [#RD] Sumber: Rosediana.net