Bullying atau tindak kekerasan yang dilakukan secara individu maupun berkelompok di lingkungan sekolah, disinyalir masih banyak terjadi di sekolah-sekolah di Jakarta. Tidak hanya mengakibatkan kekerasan fisik, bullying juga mengakibatkan tekanan psikologis yang bisa mengakibatkan siswa menjadi stress dan trauma.“Budaya bullying tidak hanya terjadi di SMU 70, namun juga masih terjadi di sekolah lain. Bullying seharusnya tidak perlu terjadi bila ada political will dari pemerintah,” kata Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi, sesaat setelah testimoni orangtua siswa SMUN 70, baru-baru ini.Dalam kesempatan tersebut, pria yang akrab disapa kak seto ini juga mengutarakan kecemasannya pasca mendapatkan laporan dari orangtua murid SMUN 70 yang diduga sudah menjadi korban bullying. Kedepannya, dia berharap semua pihak, termasuk pemerintah bisa lebih berpartisipasi guna menekan kasus kekerasan terhadap siswa. “Harus ada pencanangan gerakan nasional untuk menekan kasus kekerasan terhadap siswa. Menyingkapi persoalan ini, upaya bersama termasuk dari pemerintah maupun pihak sekolah sangat dibutuhkan,” ucap Seto.
Sementara itu, Ichwan, perwakilan orang tua siswa, sekaligus mantan anggota Komite SMUN 70 periode 2009-2011, dalam testimoninya menjelaskan, saat ini banyak siswa maupun siswi SMUN 70 belajar dalam kondisi tertekan karena tindakan bullying yang berlangsung. Saking tidak kuatnya menahan tekanan, terhitung sejak beberapa minggu terakhir sudah ada sekitar delapan siswa yang terpaksa pindah sekolah.“Banyak murid SMUN 70 yang saat ini belajar dalam kondisi ketakutan karena tindakan bullying yang dilakukan senior terhadap junior. Mata rantai kegiatan kekerasan di SMUN 70 harus segera diputus sebelum jatuh korban lebih banyak lagi,” kata Ichwan.Salah satu orangtua siswa yang tidak mau disebutkan namanya, menambahkan, anaknya berinisial NG (16) merupakan salah satu korban tindakan bullying yang terjadi baru-baru ini. Anaknya sudah menjadi korban pengeroyokan yang dilakukan senior.
Ironisnya, tidak ada tindak lanjut dari pihak sekolah untuk menuntaskan persoalan tersebut.“Anak saya menjadi salah satu bukti tindakan kekerasan yang berlangsung di sekolah. Kalau mau jujur, banyak siswa yang mengalami hal serupa tetapi orangtuanya tidak mau melaporkan karena takut menjadi masalah berkepanjangan,” kata orangtua NG.Sebagai orangtua, dirinya pun sudah membuat laporan ke Kepolisian Sektor Kebayoran Baru bernomor 0446/K/X/2011/Sek, tertanggal Rabu 19 Oktober 2011 perihal pengeroyokan yang terjadi di kantin SMUN 70. “Malah menurut pengakuan guru sendiri, di kantin sekolah sudah seperti tempat prostitusi. Semua siswa bebas melakukan apa. Sebagai orangtua, bagaimana kami tidak khawatir karena anak kami masih bersekolah di sana,” ungkapnya.Menurutnya, tidak hanya kasus bullying, di SMUN 70 juga marak pungutan ilegal kepada siswa. Pungutan yang dilakukan biasanya berdalih akan digunakan untuk acara kompetisi olahraga kesiswaan.“Banyak pungutan illegal terjadi di SMU 70.
Diantaranya digunakan untuk berbagai macam kompetisi kesiswaan, yang diminta perkelas sebesar 20 juta. Ini berarti sekitar 750ribu rupiah peranaknya. Yang kami sesalkan, justru pungutan dilakukan oleh pengurus OSIS sekolah,” ucap orangtua siswa.Menyingkapi persoalan ini, Wanda Hamidah Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta menuturkan, peran Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah SMUN 70 secara khusus sangat dibutuhkan untuk menindaklanjuti kasus ini. Kekerasan anak dalam sekolah karena alasan apapun sangat tidak dibenarkan.“Anak sekolah dilindungi oleh undang-undang perlindungan anak. Kekerasan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan,” kata Wanda.Menurutnya, kepala sekolah dan jajarannya harus bertanggung jawab apabila semua laporan orangtua siswa terbukti. Lebih jauh harus dilakukan penelusuran apakah kebijakan sekolah yang berlaku saat ini justru menjadi salah satu faktor yang mendukung kekerasan terhadap siswa tersebut.“Orangtua harus kompak melawan kebijakan yang diskriminatif. Saat ini kami membutuhkan data-data konkrit untuk meneruskan masalah ini,” kata Wanda. Suara Pembaruan, Jakarta.