Banyak studi sebelumnya menghubungkan antara intimidasi dengan gejala depresi dalam jangka pendek, seperti dikatakan peneliti Lucy Bowes, seorang psikolog di University of Oxford.
Dilansir Huffingtonpost, studi jangka panjang menunjukkan bahwa orang yang menjadi korban bully semasa kanak-kanak akan memiliki masalah kesehatan mental jangka panjang.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Psychiatry menemukan peningkatan risiko depresi dan kecemasan di masa dewasa pada korban bully, terutama di kalangan orang-orang yang memiliki gangguan dan intimidasi orang lain.
Bowes dan rekan-rekannya menggunakan data dari Britania Raya Avon Longitudinal Study of Parents and Children, informan survei terdiri dari anak-anak berusia 13 tahun dengan pertanyaan spesifik tentang bullying, termasuk apakah mereka telah mengalami fisik kekerasan, ancaman, kebohongan, penipuan dan pengecualian.
“Ini adalah usia ketika pengaruh teman sebaya menjadi penting,” kata Bowes.
“Kemudian, ketika peserta mencapai akhir masa remaja, mereka akan menjawab pertanyaan tentang gejala depresi ini secara klinis.”
“Sekitar 15 persen dari korban bully mengalami depresi hampir tiga kali lipat risiko depresi,” kata para peneliti pada 2 Juni 2015 dalam British Medical Journal.
“Pada akhirnya kami menemukan bahwa anak-anak yang melaporkan bahwa mereka sering diganggu pada usia 13 tahun dua kali lebih mungkin untuk melaporkan menjadi depresi pada usia 18 tahun,” kata Bowes.
Studi ini mendorong sekolah dan orang tua mulai melembagakan program anti-bullying, katanya, dan ini harus dipelajari untuk memastikan mereka membantu anak-anak mereka. Program yang lebih perlu melibatkan ibu dan ayah juga.
“Kita tahu bahwa keterlibatan orang tua benar-benar penting, dan kita perlu merancang intervensi yang mampu menjembatani kesenjangan antara kehidupan rumah dan sekolah,” kata Bowes.
Sumber: demo.analisadaily.com